Memulai membicarakan topik Hukuman Mati vs Hak Asasi Manusia akan
lebih baik kita menelaah terlebih dahulu tentang pengertian dan definisi
Hak Asasi Manusia. Pengertian hak asasi manusia menurut UU no. 39 tahun
1999 :
“Hak assasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
Dari beberapa sumber lainnya saya menyimpulkan pengertian dan definisi hak asasi manusia sebagai berikut :
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak di
dalam kandungan yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai anugrah
Tuhan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat digugat siapa pun dan
harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat
maupun negara.
Supaya kita lebih mengenal tentang apa saja yang terkandung dalam hak
asasi manusia, berikut ini yang termasuk dalam hak asasi manusia
menurut UUD 1945 RI yang telah diamandemen Pasal 28 tentang hak asasi
manusia secara singkat. Hak asasi manusia meliputi:
Pasal – Pokok bahasan
28A – Hak hidup
28B – Hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, hak anak untuk hidup dan mendapat perlindungan
28C- Hak pengembangan diri, pendidikan, mendapat manfaat dari iptek
28D – Hak mendapat keadilan dalam bekerja dan hukum serta status kewarganegaraan
28E – Hak dalam memilih agama, kepercayaan, pendidikan, pekerjaan,
kewaraganegaraan, tempat tinggal , menyatakan pendapat dan berserikat
28F – Hak berkomunikasi dan informasi
28G – Hak mendapat perlindungan, bebas dari penyiksaan, dan suaka politik dari negara lain
28H – Hak hidup sejahtera, pelayanan kesehatan, jaminan social, dan hak milik
28I – Hak hidup, merdeka, bebas dari diskriminatif, identitas budaya, perlindungan HAM
28J – Wajib menghormati Ham orang lain, tunduk pada UU
Di Indonesia telah dikeluarkan UU yang membahas hak asasi manusia dan
juga pengadilan hak asasi manusia. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat
Indonesia memahami tentang pentingnya hak asasi manusia sehingga dapat
menjalankan kehidupan dengan segala hak dan kewajibannya tanpa melanggar
hak asasi orang lain. Dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia dijabarkan mengenai jenis dan tingkatan pelanggaran hak
asasi manusia. Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah pengadilan khusus
terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Apa sajakah yang termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia berat?
Menurut UU No.26 Tahun 2000 BAB III Pasal 7, pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi :
1. Kejahatan Genosida
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan
Apakah yang dimaksud dengan Kejahatan Genosida ?
UU No.26 Tahun 2000 BAB III Pasal 8 :
Kejahatan Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama.
Apakah yang dimaksud dengan Kejahatan terhadap kemanusiaan ?
UU No.26 Tahun 2000 BAB III Pasal 9 :
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, berupa : pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran
secara paksa, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pemerkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, penghilangan orang secara
paksa, kejahatan apartheid, dan masih banyak lagi.
Apa yang dimaksud kejahatan apartheid ?
Kejahatan Apartheid adalah perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang
sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam pasal 8 yang dilakukan
dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi
oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok
ras lain dan dilakukan dengan maksud mempertahankan rezim itu.
Apa sajakah yang termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia ringan ?
Dalam UU No.26 Tahun 2000 tidak disebutkan mengenai penggolongan
pelanggaran HAM ringan. Sehingga dapat disimpulkan pelanggaran HAM
ringan adalah komplemen dari pelanggaran HAM berat.
Setelah kita mengetahui definisi hak asasi manusia dan telah mengenal
jenis pelanggaran HAM, marilah kita mengamati fenomena hukuman mati
yang dijatuhkan pada para penjahat yang melakukan tindak kejahatan
tertentu di negara kita. Sebut saja hukuman mati yang dijatuhkan pada
para teroris pelaku peledakan Bom Bali I.
Masih pantaskah ada negara yang menjatuhkan hukuman mati dan di sisi
lain terjadi berbagai upaya memperjuangkan perlindungan HAM ?
Kenyataannya masih banyak negara yang undang-undangnya menjatuhkan
hukuman mati sebagai ganjaran atas suatu perbuatan kejahatan luar biasa
seperti kejahatan di bawah hukum militer atau kejahatan yang dilakukan
dalam keadaan luar biasa. Diantaranya adalah Bolivia, Brazil, Chile, El
Savador, Israel, Fiji, Kazakstan, Latvia, dan Peru.
Bagaimana di Indonesia? Tentu kita mengingat hukuman mati yang telah
dijatuhkan kepada teroris pelaku pengeboman Bom Bali, Amrozi cs.
Ternyata di negara kita juga masih melakukan hukuman mati. Apakah semua
masyarakat Indonesia setuju dengan adanya hukuman mati yang diberlakukan
Indonesia? Tidak. Terjadi banyak pro kontra seputar hukuman mati di
Indonesia. Terdapat beberapa pakar hukum yang berpendapat mengenai
hukuman mati di Indonesia. Di bawah ini petikannya.
1. Sudi Prayitno, S.H., LL.M. [Penulis adalah Direktur Kantor Hukum Justitia Padang dan Advokat pada LBH Padang]
Hukuman mati (the death penalty), sekalipun sudah memicu perdebatan
sejak ratusan tahun lalu, namun tetap menjadi sorotan publik bahkan
memicu kerusuhan yang berujung pada tindakan perusakan terhadap sejumlah
kantor pemerintah. Setidak-tidaknya, reaksi itulah yang terjadi pada
hari-hari pasca eksekusi terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan
Marinus Riwu, terpidana mati dalam kasus kerusuhan Poso, yang
“diakhiri’ nyawanya oleh regu tembak dua tahun lalu atau tepatnya pada
tanggal 22 September 2006. Tibo Cs., bukanlah terpidana terakhir yang
harus menghadapi hukuman mati, tetapi masih ada ratusan terpidana mati
lain yang kini sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati. Angka ini jelas
bukan merupakan jumlah yang kecil, bila mengingat Indonesia –menurut
catatan Amnesty International- tergolong sebagai salah satu negara yang
paling minim menerapkan hukuman mati sampai tahun 2001, dikaitkan pula
dengan jumlah negara penganut hukuman mati (retentionist countries) yang
terus-menerus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bisa jadi,
kini Indonesia menjadi salah satu negara yang paling banyak menjatuhkan
hukuman mati dibanding negara lain di dunia.
Secara yuridis, pelaksanaan hukuman mati terhadap Tibo Cs. dan
ratusan terpidana mati lain, didasarkan pada putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewssdje). Putusan mana
didasarkan pada ketentuan hukum positif yang berlaku, seperti KUHP, UU
No 7/Drt/1955, UU No 22 Tahun 1997, UU No 5 Tahun 1997, UU No 31 Tahun
1999, UU No 26 Tahun 2000, dan lain sebagainya. Dari kenyataan ini,
terlihat bahwa penerapan hukuman mati di Indonesia semakin menunjukkan
kecederungan yang meningkat dilihat dari peningkatan jumlah peraturan
perundang-undangan yang mengatur hukuman mati. Persoalannya, apakah
penerapan hukuman mati seperti yang diberlakukan terhadap Tibo Cs. dan
ratusan terpidana mati lain, memang masih layak dipertahankan?
Sejalankah praktek penghukuman seperti itu dilihat dari perspektif hak
asasi manusia dan tujuan penghukuman itu sendiri?.
Beberapa filsafat memandang tujuan penghukuman atau pidana sebagai
bentuk pembalasan dan pemberi rasa takut atau efek pencegah (deterrent
effect) bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan serupa di
kemudian hari. Di sisi lain, ada pula yang memandang hukuman sebagai
cara untuk memperbaiki dan memberi efek jera bagi si pelaku sehingga
tidak mau lagi melakukan perbuatan serupa di kemudian hari.
Menurut pandangan pertama, tujuan hukuman baru akan terwujud apabila
pelaku kejahatan diganjar dengan hukuman yang setimpal dengan
perbuatannya dan semakin berat hukuman akan semakin membuat orang takut
melakukan kejahatan. Masalahnya, apakah filosofi deterrent effect itu
berjalan efektif? Melihat praktek pelaksanaan pidana mati yang ada di
Inggris, dimana pada saat orang ramai berkerumun untuk menyaksikan
penggantungan sang pencopet, para pencopet lain justeru menggunakan
kesempatan itu untuk menggerayangi saku para penonton (J.E. Sahetapy:
2006), melahirkan keraguan apakah penerapan hukuman mati akan membuat
orang takut atau justeru semakin berani untuk melakukan kejahatan. Bila
penerapan hukuman mati itu dimaksudkan sebagai ketentuan hukum tertulis
yang berfungsi untuk menakut-nakuti (sock therapy law), justeru semakin
banyak orang yang tidak takut melakukan korupsi, membunuh secara
berencana, melakukan kejahatan terorisme, pelanggaran hak asasi manusia,
dan sebagainya.
Hukuman mati, mungkin akan membuat kejahatan si pelaku terbalaskan
setidaknya bagi keluarga korban dan akan membuat orang lain takut
melakukan kejahatan karena akan diancam dengan hukuman serupa. Namun hal
itu jelas tidak akan dapat memperbaiki diri si pelaku dan membuat
dirinya jera untuk kemudian hidup menjadi orang baik-baik, karena
kesempatan itu sudah tidak ada lagi disebabkan dirinya sudah dimatikan
sebelum sempat memperbaiki diri. Sebaliknya, tanpa dihukum mati pun,
seorang pelaku kejahatan dapat merasakan pembalasan atas tindakannya
dengan bentuk hukuman lain, misalnya dihukum seumur hidup dengan atau
tanpa pencabutan beberapa hak tertentu atau penjara di tempat yang jauh
dan terpencil. Begitu juga bagi masyarakat, penjatuhan hukuman penjara
untuk waktu tertentu di suatu tempat tertentu atau perampasan beberapa
barang tertentu, dapat memberi rasa takut bagi seseorang untuk melakukan
kejahatan.
Dari perspektif hak asasi manusia, penerapan hukuman mati dapat
digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang berbunyi, “Setiap
orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai
individu”. Jaminan ini dipertegas dengan Pasal 5 DUHAM dan Pasal 7
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) yang berbunyi, “Tidak
seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan
atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina“ dan dikuatkan dengan
Protokol Opsional Kedua atas Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak
Sipil dan Politik tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati. Sekalipun
instrumen hukum internasional yang mengatur persoalan hak asasi manusia
tersebut tidak dapat memaksa suatu negara untuk mematuhinya kecuali
negara yang bersangkutan telah menandatangani rumusan hukum yang
tertuang dalam perjanjian internasional yang dibuat untuk itu, namun
sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa yang berkomitmen memajukan
hak asasi manusia, Indonesia wajib menghormati dan melindungi hak asasi
manusia setiap warga negaranya tanpa pandang bulu.
Sayangnya, meskipun ICCPR sudah diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang berarti
kewajiban untuk melaksanakan ketentuan didalam kovenan tersebut telah
secara otomatis melekat pada Pemerintah Indonesia, belum terlihat adanya
political will dari pemerintah untuk menghapuskan pidana mati di
Indonesia. Agaknya, problematika penerapan hukuman mati di Indonesia
tampaknya sudah mendesak untuk dicarikan jalan keluarnya. Lahirnya
berbagai peraturan perundang-undangan yang memungkinkan diterapkannya
pidana mati di satu sisi dan adanya jaminan dalam Konstitusi RI UUD 1945
(Amandemen Kedua) Pasal 28I Ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” yang
diikuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
yang menegaskan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, …. dst,
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun dan oleh siapapun” (Pasal 4), jelas menunjukkan kesimpangsiuran
peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Sulit kiranya
menerima, peraturan perundang-undangan yang seharusnya dibuat untuk
melindungi HAM setiap orang justeru menjadi alat legitimasi untuk
melakukan pelanggaran HAM itu sendiri. Agaknya, fakta itulah yang saat
ini sedang terjadi di negeri ini.
2. Mardjono Reksodiputro, Pakar Hukum Universitas Indonesia
Delapan pakar hukum dari tujuh perguruan tinggi ternama di Indonesia
setuju pemberlakuan hukuman mati tanpa syarat bagi produsen dan pengedar
narkotika. Atas nama keadilan, hakim berhak mencabut nyawa seseorang.
Hal itu terungkap dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1997 tentang Narkotika di Mahkamah Konstitusi, Rabu (20/6).
Dari sembilan pakar hukum pidana yang dimintai keterangan di Mahkamah
Konstitusi, hanya Mardjono Reksodiputro dari Universitas Indonesia yang
menyatakan pemberlakuan hukuman mati harus disertai syarat. Menurut
dia, penjelasan hukuman mati dalam UU tentang narkotika harus dibarengi
dengan beberapa syarat, karena termasuk kategori pidana khusus.
“Bisa digunakan pidana mati percobaan. Artinya, terpidana mati
dihukum dulu 10 tahun penjara. Kalau dapat memperbaiki diri, diubah
menjadi hukuman seumur hidup atau penjara 20 tahun,” ujarnya.
Mardjono mengatakan, apabila terpidana mati tidak dieksekusi selama 10
tahun, hak negara untuk melakukan eksekusi menjadi kedaluwarsa dan
pidana mati harus diubah menjadi pidana seumur hidup. Syarat lain,
keputusan hakim ketika menjatuhkan vonis juga harus bulat. “Kalau ada
descending opinion (pendapat berbeda), maka tidak bisa dijatuhi pidana
mati.”
Anggota Komisi Hukum Nasional itu berpendapat pemerintah saat ini
masih ragu-ragu melakukan eksekusi mati. Banyak kasus yang membuktikan
terpidana mati mendapatkan status yang tidak jelas ketika menunggu waktu
eksekusi. Menurut dia, kalau pemerintah masih ingin memberlakukan
hukuman mati, harus ada syarat pidana khusus atau penghapusan total.
Salah satu pakar hukum yang mendukung hukuman mati tanpa syarat
adalah Didik Endro Purnomo, ahli hukum pidana dari Universitas Airlangga
Surabaya. Menurut dia, ketentuan hukuman mati tidak melanggar UUD 1945
karena hak hidup tidak berlaku bagi seseorang yang telah melakukan
tindak pidana. Apalagi kehidupan bernegara akan terancam jika generasi
muda dirusak oleh narkotika. “Undang-undang narkotika merupakan upaya
untuk melindungi masyarakat.”
Sidang uji materi Undang-Undang tentang Narkotika yang mengundang
pakar hukum dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada,
Universitas Sumatera Utara, Universitas Airlangga, Universitas Jember,
Universitas Parahiyangan, dan Universitas Pattimura juga menyatakan
setuju dengan pemberlakukan hukuman mati bagi produsen dan pengedar
narkotika.
Pengujian undang-undang tersebut diajukan oleh Scott Anthony Rush, salah
satu dari 9 warga Australia (kasus Bali 9) yang dijatuhi hukuman mati
karena menyelundupkan 5.121 gram heroin ke Bali
3. Romli Atmasasmita, Pakar hukum pidana Universitas Padjajaran Bandung
Tiga puluh sembilan abad berlalu setelah hukuman mati pertama kali
yang dicatat dalam sejarah terjadi di Kerajaan Babilonia. Di bawah
kepemimpinan Raja Hamurabi, kerajaan itu membolehkan menghukum seseorang
dengan jalan pencabutan nyawa.
Terentang jarak waktu yang panjang tidak juga mengikis aturan hukum
yang membolehkan pembunuhan terhadap orang lain atas nama penegakan
keadilan. Meski tidak bisa dikatakan mayoritas, nyatanya masih banyak
negara memberlakukan hukuman keji tersebut, termasuk Indonesia.
Setelah sempat memanas ketika terpidana pelaku kerusuhan Poso, Tibo
dan kawan-kawan, divonis mati di hadapan regu tembak, wacana penghapusan
hukuman mati tidak lagi ramai dibicarakan. Perdebatan kembali merebak
ketika Amrozi dan kawan-kawan, terpidana mati pelaku Bom Bali I, menolak
menghadapi ajal dengan cara ditembak dan memilih mati syahid dipancung.
Mereka juga menolak meminta ampun kepada presiden yang dinilai bukan
sebagai representasi hukum Allah.
Pendapat pro-kontra kian meruncing. Kubu yang sepakat pemberlakuan
hukuman mati berpendapat negara perlu menerapkan hukum yang memberikan
efek jera bagi para pelaku lainnya. Sedangkan di seberang, kubu yang
menolak hukuman mati berargumen bahwa jenis hukuman ini terbukti tidak
efektif membuat efek jera. Untuk kejahatan yang berlatar belakang
keyakinan, hukuman mati justru memotivasi pelaku lain untuk melakukan
kejahatan serupa demi membela keyakinan.
Mengurai kontroversi pemberlakuan hukuman mati, reporter VHRmedia.com
Kurniawan Tri Yunanto mewawancarai Romli Atmasasmita, mantan
Koordinator Tim Perancangan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang
Terorisme. Pakar hukum pidana Universitas Padjajaran Bandung ini berbagi
pendapat soal pemberlakuan hukuman mati dan usaha jalan tengah yang
kini sedang ditempuh memecah kontroversi hukuman keji ini.
………….
Dalam uji UU Narkotika beberapa hakim konstitusi menyatakan pendapat
berbeda. Lalu keterangan JE Sahetapy menyatakan hukuman mati
bertentangan dengan Pancasila dan harus dihapus. Idealnya, menurut Anda
seperti apa?
Ini kan berkaitan dengan pilihan. Kalau secara penegakan hukum, secara
undang-undang menghendaki dihapus. Tapi harus dikembalikan lagi,
mengenai kejahatan yang sangat serius, korbannya banyak, lalu ancaman
pidana mati tidak boleh. Makanya saya setuju dengan RUU yang kita buat.
Dalam hukuman pidana yang baru nanti, saya menyarankan hukuman pidana
mati tetap ada, tapi termasuk pengecualian. Dalam hukum pokoknya tidak
diperbolehkan, tapi dalam pasal tertentu hukuman mati diperbolehkan
untuk hal tertentu.
Tapi implementasi pidana mati tidak harus digantung, diberi
kesempatan 10 tahun untuk menunjukkan bahwa dia patut diabolisi. Jadi di
antara pro dan kontra, kita berdiri di tengah. Kalau pidana mati
dihapus keseluruhan, mungkin ada pemikiran yang berkembang apakah kita
harus seperti itu.
Apakah itu juga berlaku untuk kejahatan terorisme?
Kenapa untuk terpidana mati kasus terorisme seperti Bom Bali I tidak
ada yang protes dan diem saja? Australia, kalau ada pidana mati untuk
terorisme langsung bersorak. Tapi kalau warga negaranya ada yang
dipidana mati, langsung berteriak. Kita di tengah pergolakan kehidupan
internasional yang berstandar ganda. Lalu kita masuk dalam pergolakan
itu dan dipaksa untuk mengambil sikap mendukung mana. Hukuman mati soal
terorisme itu kan juga masuk human right, tapi mereka tidak protes.
Sekarang, kenapa untuk kasus narkotika mereka protes? Ini harus
betul-betul fair. Tapi masalahnya di UU Narkotika kan dibedakan antara
pecandu dan pengedar
Pengedar memang mati, tapi untuk pecandu ya diobati, tidak ada yang
dihukum mati. Terrorism, narcotic crime, dan perdagangan senjata itu
termasuk international crime. Itu sudah diakui dan satu paket.
Sekarang kita pilihannya apa? Kita hidupkan orang yang nyata-nyata bikin
orang teler? Makanya saya setuju KUHP ambil jalan tengah seperti itu.
Itu lebih fair.
Pro – kontra ini pasti tidak selesai dalam satu zaman. Dulu saya
masih ingat, Eropa menolak hukuman mati. Sekarang beberapa negara justru
menerima lagi.
Jadi, MK mungkin melihat untuk kasus Indonesia dengan melihat
maraknya peredaran narkotika. Mungkin ini jalan keluar yang terbaik.
Lihat saja Singapura. Meski diprotes seperti apa pun, tetap saja
memberlakukan hukuman mati. Tapi dampaknya sekarang, orang mikir-mikir
melakukan tindak kejahatan di negeri itu. Rakyatnya senang. Di sini?
Kita lebih milih mana? Kalau saya sih mending kenceng sekalian seperti
Singapura. Siapa pun yang masuk ke situ pasti mati, tapi penduduknya
aman. Sekarang mau milih efisiensi, HAM, atau efektif untuk perlindungan
republik ini? Kalau saya untuk perlindungan yang lebih besar. Kalau
secara akademis memang bisa diperdebatkan. Kalau politis tergantung
perpolitikan di negeri ini. Secara agamis dipertentangkan.
…
Sejak tadi kita bicara mengenai kontroversi hukuman mati. Sekarang bagaimana menjembatani antara kepentingan politis ini?
Cepat saja RUU KUHP itu diundangkan, atau minimal bikin perpu (peraturan
pemerintah pengganti undang-undang) pengaturan ketentuan hukuman mati
atau gimanalah biar bisa mengurangi kontroversi.
Apa pertimbangan menerbitkan perpu berkaitan hukuman mati?
Pertimbangannya keadaan mendesak. Bahwa sebenarnya kita memerlukan pidana mati, tapi dengan bersyarat.
…
Setelah putusan MK, Gubernur Lemhannas Muladi menyatakan hukuman mati tidak bisa diberlakukan terhadap koruptor.
Tanggapan Anda?
Memang di luar negeri tidak ada koruptor yang dipidana mati. Paling
tinggi 15 tahun. Seumur hidup itu tidak ada. Hanya kita yang ada. Tidak
ada masalah. Toh koruptor itu kan hanya dirinya sendiri. Dengan hukuman
20 tahun saja sudah cukup bagi para koruptor. Derajatnya itu narkotika
lebih berat daripada koruptor. China saja sekarang main tembak koruptor
kewalahan sendiri, kok masih banyak yang bandel. Akhirnya mereka lebih
pada pencegahan dan berguru pada Korea Selatan dan Hong Kong. Kalau
korupsi itu harus difokuskan ke akar masalahnya.
Ada usulan mengganti hukuman mati dengan hukuman seumur hidup. Tanggapan Anda?
Hukuman hidup itu sebenarnya lebih payah. Pertama, benar-benar hidup
dalam penjara selamanya. Kedua, negara akan keluar biaya besar untuk
mengongkosi. Sanggup tidak negara? Sebenarnya arahnya kita sekarang ini
pada penghapusan hukuman mati. Cuma jika hapus total, akan memunculkan
reaksi politis, khususnya dari partai-partai Islam.
Setelah kita sama-sama mengetahui sebagian tentang hak asasi manusia
dan pendapat para pakar hukum mengenai hukuman mati, seyogyanya kita
telah mempunyai pendapat tentang kontroversi hukuman mati di Indonesia.
Telah dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 28 tentang hak asasi manusia yang
melindungi hak setiap orang untuk hidup, namun ironisnya pemerintah
membentuk Perpu No 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme yang kemudian telah disahkan menjadi undang-undang. Dalam salah satu pasalnya berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain,
atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau
fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun.
Menurut saya, Perpu No 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme yang menjatuhkan hukuman mati melanggar UUD 1945 Pasal
28. Tak seharusnya pemerintah menjatuhkan hukuman mati untuk pelaku
terorisme karena merebut hak hidup pelaku terorisme. Perampasan hak
hidup mengakibatkan perampasan HAM yang lainnya seperti hak meneruskan
keturunan, mengembangkan diri, dan sebagainya. Dalam UUD 1945 tentang
HAM tidak disebutkan adanya pengecualian tentang perlindungan HAM,
artinya perlindungan terhadap HAM adalah hak seluruh penduduk Indonesia.
Akan lebih baik jika hukuman tertinggi untuk tindak pidana terorisme
adalah hukuman seumur hidup. Diharapkan pelaku dapat bertaubat dari
kejahatannya serta dapat melanjutkan hidupnya dalam penjara. Walaupun
telah banyak korban yang berjatuhan karena kejahatannya, namun ia
sebagai manusia tetap memiliki HAM yang dilindungi UUD 1945.
Telah dijelaskan oleh salah satu pakar hukum di Indonesia bahwa jika
hukuman mati digantikan dengan hukuman seumur hidup akan menyebabkan
semakin beratnya beban keuangan pemerintah. Bagaimanakah solusinya? Jika
pemerintah punya niat yang baik untuk benar-benar melindungi HAM para
pelaku kejahatan, pasti ada jalan keluar untuk masalah tersebut.
Pemerintah dapat memulai melatih ketrampilan pada narapidana agar mereka
dapat hidup mandiri walaupun mereka berada dalam penjara.
Seperti yang telah dilakukan di beberapa rumah tahanan di Indonesia
dengan melatih para tahanan untuk membuat benda-benda yang bernilai
ekonomis misalnya membuat perabot rumah tangga dari kayu, membuat
hiasan, bahkan tidak mungkin tenaga narapidana bisa dimanfaatkan untuk
mendirikan sebuah perusahaan kecil-kecilan. Hasil kerja keras mereka
dapat ditabung untuk membiayai kehidupan mereka. Tentu saja pemberdayaan
sumber daya manusia di dalam penjara dapat dilakukan secara maksimal
setelah para tahanan bertaubat dan kembali menjadi manusia yang baik
akhlak dan perbuatannya. Pemerintah dapat meminta bantuan dari tokoh
agama atau pihak lain yang kompeten mengembalikan para tahanan ke jalan
yang benar demikian juga kepada para teroris.
Referensi
http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita,8-Pakar-Hukum-Setuju-Hukuman-Mati-Tanpa-Syarat-288.html
http://www.vhrmedia.com/print.php?.g=news&.s=bingkai&.bk=64
http://tiarramon.wordpress.com/2009/12/13/dilema-hukuman-mati-2/
http://organisasi.org/pengertian_macam_dan_jenis_hak_asasi_manusia_ham_yang_berlaku_umum_global_pelajaran_ilmu_ppkn_pmp_indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia
http://one.indoskripsi.com/node/2559
http://www.amnestyusa.org/document.php?id=ENGACT500032008
Peratutan Pemerintah Pengganti Undang-undang RI No 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan tindak pidana terorisme
UUD 1945
UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia