AMIRUDDIN

Catatan Kecil Putra Lara, Catatan Kecil Putra Lara, Catatan Kecil Putra Lara, Catatan Kecil Putra Lara, Catatan Kecil Putra Lara, Catatan Kecil Putra Lara, AMIRUDDIN HARUN

Kamis, 13 November 2014

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 5/PUU-X/2012 MENGENAI PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945





ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 5/PUU-X/2012 MENGENAI PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

A.    Latar Belakang Masalah
Republik Indonesia terbentuk sebagai suatu negara berdaulat, merupakan cita-cita seluruh komponen bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.“Keinginan untuk merdeka bukan tanpa alasan, mengingat pada zaman penjajahan bangsa Indonesia dalam keadaan tidak terdidik karena Pendidikan hanya dapat diperoleh bagi kaum tertentu”.[1]
Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu cita-cita Nasional Indonesia merdeka. Hal ini dapat dilihat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NKRI Tahun 1945), sebagaimana telah diamanatkan dalam alenia keempat pembukaan UUD NKRI Tahun 1945 bahwa:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesian yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan/perwakilan, serta dengan mewujutkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Salah satu kewajiban yang dibebankan kepada Negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana Ketentuan Pasal 31 Ayat (3) UUD NKRI Tahun 1945 bahwa:
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-undang”
Pendidikan merupakan upaya paling utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan merupakan modal dasar bangsa dan Negara dalam menghadapi berbagai tantangan internal dan eksternal global.Hanya dengan pendidikan yang berkualitas, Indonesia dapat lebih terjamin dalam proses transisi menuju demokrasi, dan hanya dengan pendidikan yang bermutu Indonesia dapat membangun keunggulan kompetetif dalam persaingan global yang semakin sangat intens.[2]Selain itu, tidak diragukan lagi bahwa Pendidikan merupakan salah satu pilar terpenting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia,[3]dengan demikian pembangunan pendidikan Nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan dan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global.
Salah satu upaya pemerintah dalam menjalankan ketentuan undang-undang tersebut guna meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerintah mengusahakan sistem pendidikan yang dapat bersaing secara global melalui suatu Sistem Pendidikan Bertaraf Internasional. Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasional(selanjutnya disebut UU No. 20 Tahun 2003),menentukan bahwa:
“Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.

Penerapan Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003, telah dilakukan oleh pemerintah, namun dalam ketentuan tersebut seperti yang telah dituliskan diatas, bahwa keberadaan satuan Pendidikanyang bertaraf internasional yang diwujudkan dalam Sekolah Bertaraf Internasional (Selanjutnya disebut SBI) sebagai amanat Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 menyebabkan terjadinya dualisme sistem Pendidikan di Indonesia yaitu sistem pendidikan Nasional dan sistem Pendidikan bertaraf internasional.Sehingga Penyelenggaraan SBI sebagai implementasi ketentuan Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003, dianggap bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1); Pasal 28E ayat (1); Pasal 28I ayat (2); Pasal 31 ayat (2); Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 36 UUD NKRI Tahun 1945.
Berkaitan dengan hal tersebutKewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan salah satu kewenangannya yakni menguji undang-undang terhadap uunadng-undang dasar,bahwa ketentuan yang mengatur kewenagan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan judicial review yaitu, Pasal 24C ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945.[4]
Para Pemohon “Andi Akbar Fitriyadi, Nadya Masykuria, Milang Tauhida, Jumono, Lodewijk F. Paat, Bambang Wisudo, Febri Hendri Antoni Arif”,[5]bersamadengan kuasa hukumnyamenjelaskan dalam permohonannya adalah Warga NegaraIndonesia yang berkedudukan sebagai orangtua murid, dosen, aktivispendidikan serta aktivisIndonesia Corruption Watch(ICW) yang merasa dirugikan hak-hakkonstitusionalnya atas berlakunya ketentuan Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003.Dengan demikian ketentuan Legal Standingsebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UU No. 24 Tahun 2003) Tentang Mahkamah Konstitusisuda dipenuhi.[6]
Beberapa masala yang menjadi dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon adalah bahwa para Pemohon menyatakan dana untuk penyelenggaraan SBI berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) berpotensi untuk terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan dan tidak sebanding dengan manfaat yang didapatkan, karena terdapat sekolah yang tidak menggunakan dana ini untuk meningkatkan mutu sekolah melainkan digunakan untuk membangun sarana dan prasarana sekolah. Selain itu seharusnya dengan dana untuk penyelenggaraan SBI orang tua murid tidak dibebani lagi dengan biaya sekolah namun pada prakteknya pihak sekolahmasih memungut biaya pendaftaranpenerimaan siswa baru, biaya gedung dan biaya Pendidikan. Keberadaan satuan pendidikan bertaraf internasional bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa, jika dilihat dari tujuannya agar Indonesia memiliki lulusan yang memiliki kompetensi sesuai standar kompetensi lulusan di negara maju sangat baik, namun hal ini belum tentu sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia, Bahwa satuan pendidikan bertaraf internasional bertentangan dengan kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menimbulkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia karena dalam Pasal 31 ayat (3) UUD NKRI Tahun 1945 terdapat frasa “satu sistem pendidikan nasional” yang dapat diartikan sebagai satu sistem yang digunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan nasional maka dengan adanya satuan pendidikan bertaraf internasional menurut Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 menimbulkan dualisme sistem pendidikan. Keberadaan satuan pendidikan bertaraf internasional adalah bentuk liberalisasi pendidikan karena negara mengabaikan kewajibannya membiayai sepenuhnya pendidikan dasar dan membiarkan sekolah yang menyelenggarakan program SBI untuk memungut biaya pendidikan kepada masyarakat, dan  Satuan pendidikan bertaraf internasional menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi dalam bidang pendidikan hal ini melanggar hak bagi warga negara terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga yang sederhana atau tidak mampu, meski program ini memang memberikan kuota bagi siswa miskin yang berprestasi namun hal ini dipertanyakan lagi bagaimana dengan siswa yang tidak berprestasi, mereka juga berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. serta pemohon mendalilkan satuan pendidikan bertaraf internasional berpotensi menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia karena proses pendidikan SBI menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar. Bahasa pengantar dan karakter yang hendak dibangun dari sekolah berstandar internasional dinilai tidak melahirkan manusia berkepribadian Indonesia.
Bertitik tolak dari uraian di atasjelas bahwa kepentingan konstitusional para pemohon telah dirugikan dengan keberadaan Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003, sehingga diajukan untuk dilakukan uji materil di Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas penulis memiliki ketertarikan untuk menulisdan menindak lanjuti dalam bentuk penelitian hukum dan pengkajianterhadapdasar pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012 Tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional Terkait Pengujian Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dan implikasi Hukum PutusanMahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012 Tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional Terkait Pengujian Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan judul,Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/Puu-X/2012 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


[1] Kartini Malarangan, Analisis Yuridis Terhadap Proses Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM Berat di Indonesia, Tesis PPS-UNHAS, 2005, hlm. 3

[2]Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi Dan Demokratisasi, Jakarjat, Kompas, 2006, hlm. 215
[3]Jurnal Teknologi Pendidikan Dan Pembelajaran,Implementasi Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, PPS-UNHAS, Vol.1, No.3, Des 2013, hlm. 361
[4]Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
[5]Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012
[6]Pasal 51ayat (1) UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara”;