ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 5/PUU-X/2012 MENGENAI PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN
2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
A.
Latar
Belakang Masalah
Republik Indonesia terbentuk sebagai
suatu negara berdaulat, merupakan cita-cita seluruh komponen bangsa Indonesia
dari Sabang sampai Merauke.“Keinginan untuk merdeka bukan tanpa alasan, mengingat
pada zaman penjajahan bangsa Indonesia dalam keadaan tidak terdidik karena
Pendidikan hanya dapat diperoleh bagi kaum tertentu”.[1]
Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan
salah satu cita-cita Nasional Indonesia merdeka. Hal ini dapat dilihat dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD NKRI Tahun 1945), sebagaimana telah diamanatkan dalam
alenia keempat pembukaan UUD NKRI Tahun 1945 bahwa:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesian yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat yang berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan/perwakilan, serta dengan mewujutkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Salah satu
kewajiban yang dibebankan kepada Negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa,
sebagaimana Ketentuan Pasal 31 Ayat (3) UUD NKRI Tahun 1945 bahwa:
“Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan Undang-undang”
Pendidikan
merupakan upaya paling utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan merupakan
modal dasar bangsa dan Negara dalam menghadapi berbagai tantangan internal dan
eksternal global.Hanya dengan pendidikan yang berkualitas, Indonesia dapat
lebih terjamin dalam proses transisi menuju demokrasi, dan hanya dengan
pendidikan yang bermutu Indonesia dapat membangun keunggulan kompetetif dalam
persaingan global yang semakin sangat intens.[2]Selain itu, tidak diragukan lagi bahwa Pendidikan merupakan salah satu pilar
terpenting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia,[3]dengan
demikian pembangunan pendidikan Nasional harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen
pendidikan untuk menghadapi tantangan dan tuntutan perubahan kehidupan lokal,
nasional dan global.
Salah
satu upaya pemerintah dalam menjalankan ketentuan undang-undang tersebut guna meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, pemerintah mengusahakan sistem
pendidikan yang dapat bersaing secara global melalui suatu Sistem Pendidikan
Bertaraf Internasional.
Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasional(selanjutnya
disebut UU No. 20 Tahun 2003),menentukan bahwa:
“Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan yang bertaraf internasional”.
Penerapan Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003, telah
dilakukan oleh pemerintah, namun dalam ketentuan
tersebut seperti yang telah dituliskan diatas, bahwa
keberadaan satuan Pendidikanyang bertaraf internasional yang diwujudkan dalam Sekolah
Bertaraf Internasional (Selanjutnya disebut SBI) sebagai amanat Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 menyebabkan
terjadinya dualisme sistem Pendidikan di Indonesia yaitu sistem pendidikan
Nasional dan sistem Pendidikan bertaraf internasional.Sehingga Penyelenggaraan
SBI sebagai implementasi ketentuan Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003, dianggap
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1); Pasal 28E ayat (1); Pasal 28I ayat (2);
Pasal 31 ayat (2); Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 36 UUD NKRI Tahun 1945.
Berkaitan dengan hal tersebutKewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam menjalankan salah satu kewenangannya yakni menguji undang-undang
terhadap uunadng-undang dasar,bahwa
ketentuan yang mengatur kewenagan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan
judicial review yaitu, Pasal 24C ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945.[4]
Para Pemohon “Andi
Akbar Fitriyadi, Nadya Masykuria, Milang Tauhida, Jumono, Lodewijk F. Paat,
Bambang Wisudo, Febri Hendri Antoni Arif”,[5]bersamadengan kuasa hukumnyamenjelaskan dalam permohonannya adalah Warga NegaraIndonesia yang berkedudukan sebagai
orangtua murid, dosen, aktivispendidikan serta aktivisIndonesia
Corruption Watch(ICW)
yang merasa dirugikan hak-hakkonstitusionalnya atas berlakunya ketentuan Pasal
50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003.Dengan demikian ketentuan Legal
Standingsebagaimana disebutkan dalam
ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UU No. 24
Tahun 2003) Tentang Mahkamah Konstitusisuda dipenuhi.[6]
Beberapa masala yang menjadi
dasar permohonan yang diajukan oleh
pemohon adalah bahwa para Pemohon menyatakan dana untuk penyelenggaraan SBI berasal dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) berpotensi untuk terjadinya penyimpangan atau
penyalahgunaan dan tidak sebanding dengan manfaat yang didapatkan, karena
terdapat sekolah yang tidak menggunakan dana ini untuk meningkatkan mutu
sekolah melainkan digunakan untuk membangun sarana dan prasarana sekolah.
Selain itu seharusnya dengan dana untuk penyelenggaraan SBI orang tua murid
tidak dibebani lagi dengan biaya sekolah namun pada prakteknya pihak sekolahmasih
memungut biaya pendaftaranpenerimaan siswa baru, biaya gedung dan biaya Pendidikan.
Keberadaan satuan pendidikan bertaraf
internasional bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa, jika
dilihat dari tujuannya agar Indonesia memiliki lulusan yang memiliki kompetensi
sesuai standar kompetensi lulusan di negara maju sangat baik, namun hal ini
belum tentu sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia,
Bahwa satuan pendidikan bertaraf internasional
bertentangan dengan kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan menimbulkan dualisme sistem pendidikan di
Indonesia karena dalam Pasal 31 ayat (3) UUD NKRI Tahun
1945 terdapat frasa “satu sistem pendidikan nasional”
yang dapat diartikan sebagai satu sistem yang digunakan dalam dunia pendidikan
di Indonesia adalah sistem pendidikan nasional maka dengan adanya satuan
pendidikan bertaraf internasional menurut Pasal 50 ayat
(3) UU No. 20 Tahun 2003 menimbulkan
dualisme sistem pendidikan. Keberadaan satuan pendidikan bertaraf internasional adalah bentuk
liberalisasi pendidikan karena negara mengabaikan kewajibannya membiayai
sepenuhnya pendidikan dasar dan membiarkan sekolah yang menyelenggarakan
program SBI untuk memungut biaya pendidikan kepada masyarakat, dan Satuan pendidikan bertaraf internasional
menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi dalam bidang pendidikan hal ini
melanggar hak bagi warga negara terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga
yang sederhana atau tidak mampu, meski program ini memang memberikan kuota bagi siswa miskin yang
berprestasi namun hal ini dipertanyakan lagi bagaimana dengan siswa yang tidak
berprestasi, mereka juga berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. serta pemohon mendalilkan satuan pendidikan bertaraf
internasional berpotensi menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang
berbahasa Indonesia karena proses pendidikan SBI menggunakan bahasa inggris
sebagai bahasa pengantar. Bahasa pengantar dan karakter yang hendak dibangun
dari sekolah berstandar internasional dinilai tidak melahirkan manusia
berkepribadian Indonesia.
Bertitik tolak dari uraian di atasjelas
bahwa kepentingan konstitusional para pemohon telah dirugikan dengan keberadaan
Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003, sehingga
diajukan untuk dilakukan uji materil di Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas penulis
memiliki ketertarikan untuk menulisdan menindak lanjuti dalam bentuk penelitian
hukum dan pengkajianterhadapdasar
pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012 Tentang
Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional Terkait Pengujian Pasal 50 ayat
(3) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dan implikasi
Hukum PutusanMahkamah Konstitusi Nomor
5/PUU-X/2012 Tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf
Internasional Terkait Pengujian Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional dengan
judul,Tinjauan Yuridis
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/Puu-X/2012 Mengenai Pengujian Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[1] Kartini
Malarangan, Analisis Yuridis Terhadap
Proses Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM Berat di Indonesia, Tesis
PPS-UNHAS, 2005, hlm. 3
[2]Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional
Rekonstruksi Dan Demokratisasi, Jakarjat, Kompas, 2006, hlm. 215
[3]Jurnal Teknologi Pendidikan
Dan Pembelajaran,Implementasi Program
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, PPS-UNHAS, Vol.1, No.3, Des 2013,
hlm. 361
[4]Pasal
24C Ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
[5]Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012
[6]Pasal 51ayat
(1) UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa: Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b)
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-Undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga
negara”;